Serba Serbi Awal Ramadhan
Alhamdulillah,
kita sudah memasuki hari kedua bulan Ramadhan. Masih terbayang ya, bagaimana
penentuan awal bulan Ramadhan kemarin, mulai dari pengamatan di lapangan,
sidang isbat, dan akhirnya keputusan yang mengantarkan dua organisasi
kemasyarakatan islam terbesar –NU dan Muhammadiyah- sepakat dalam menentukan
awal ramadhan jatuh pada tanggal 06 Juni 2016.
Nah,
kenapa sih awal ramadhan bisa berbeda-beda?
Saudaraku,
ternyata perbedaan ini disebabkan oleh metode yang digunakan. Sebelum ke sana,
mari kita lihat hadits yang artinya sebagai berikut:
“Berpuasalah karena melihatnya (hilal), berbukalah karena
melihatnya (hilal), jika penglihatan kalian terhalang maka sempurnakan bulan
Sya’ban jadi 30 hari” (HR.
Bukhari 1909, Muslim 1081)
Jadi, awal ramadhan, begitu pula syawal dan zulhijah ditentukan dengan
hilal. Hilal adalah
bulan sabit yang tampak, yang merupakan fenomena rukyat (observasi). Tanda-tanda
awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata (rukyat) dan bisa juga
dihitung (hisab) berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data
rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan
hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas
hilal.
Adapun
metode penentuan awal ramadhan, para ulama berselisih pendapat apakah dengan
cara melihat bulan langsung (rukyat) atau dengan cara hisab.
- Pendapat Pertama mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan adalah dengan cara melihat bulan secara langsung (rukyat) dan tidak boleh menggunakan hisab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk di dalamnya Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'I, dan Ahmad).
- Pendapat kedua mengatakan bahwa cara menentukan awal bulan Ramadhan dengan menggunakan hisab. Ini adalah pendapat Mutharrif bin Abdullah, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah. Mereka berdalil dengan hadits riwayat muslim di atas, hanya saja kelompok ini menafsirkan lafadh " faqduru lahu " dengan ilmu hisab. Yaitu jika bulan tersebut tertutup dengan mendung, maka pergunakanlah ilmu hisab.
Adapun
di Indonesia, menurut Muhammadiyah, konjungsi atau dalam istilah bahasa Arabnya
adalah ijtima’ dijadikan landasan untuk menentukan awal bulan termasuk
permulaan Ramadhan. Muhammadiyah
menetapkan awal puasa dasarnya menurut hisah hakiki (dengan kriteria wujudul
hilal). Sedangkan
NU dan pemerintah menentuan awal bulan tak hanya pada ijtima’ namun juga harus
memenuhi syarat imkanurrukyah, di mana posisi matahari terbenam lebih dari 2
derajat.
Intinya saudaraku, kita harus
tahu ilmunya. Jangan hanya ikut-ikutan (taqlid) ke orang tua atau saudara. Kita
harus kritis berpikir mengapa puasa mulai hari ini, ‘oh karena hilal sudah
terlihat’ misalnya, atau yang lainnya. Sehingga dengan begitu kita memiliki
dasar yang kuat dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Sumber:
www.ahmadzain.com
0 komentar: